Toyota setuju membayar denda US$180 juta (Rp2,5 triliun, kurs Rp14.081) ke pemerintah Amerika Serikat (AS) atas pelanggaran protokol Clean Air Act pada periode 2005-2015. Pelanggaran ini terkait pelaporan kerusakan untuk kontrol emisi.
Ada empat pihak Toyota yang terlibat masalah ini yakni Toyota Motor Corporation, Toyota Motor North America Inc., Toyota Motor Sales U.S.A. Inc., and Toyota Motor Engineering & Manufacturing North America Inc. (Toyota).
Menurut protokol itu, produsen mobil wajib melaporkan potensi kerusakan dan recall pada desain komponen mobil yang terkait kontrol emisi kepada Environmental Protection Agency (EPA). Toyota dikatakan tidak melaporkan 78 laporan terkait masalah emisi dalam periode 2005-2015.
Komplain terkait hal ini diajukan di pengadilan federal di Manhattan. Menurut ketentuan EPA produsen otomotif mesti melaporkan isu terkait emisi jika lebih dari 25 unit mesin atau mobil pada model yang sama memiliki masalah serupa.
EPA dalam tuntutannya mengatakan pejabat Toyota dan karyawan lainnya tahu soal isu tersebut namun secara sistematis dikatakan tidak melaporkannya pada 2005-2015.
"Toyota menutup mata terhadap ketidakpatuhan, gagal memberikan pelatihan, perhatian, dan pengawasan tepat pada kewajiban Clean Air Act," tulis pernyataan EPA mengutip Audrey Straus, pengacara distrik New York, dilansir dari Car and Driver.
Toyota dikatakan mendapat untung dari isu ini dan menyebabkan polusi emisi berlebihan ke udara.
Juru bicara Toyota, Eric Booth, mengatakan perusahaan memberi tahu pemerintah segera setelah menyadari masalah penundaan pelaporan kepada EPA. Toyota dikatakan tidak mempermasalahkan denda yang dikenakan, yang menjadi hukuman perdata terbesar perihal pelaporan pelanggaran pelaporan emisi.
Komentar
Posting Komentar